Rabu, 28 Agustus 2013

Down Payment Royalty Buku Rajut Amigurumi Nusantara

Akhirnya Buku Rajut Pertamaku terbit juga. Bikinnya bareng dengan beberapa teman perajut di seluruh nusantara. Judul bukunya: Boneka Rajut Amigurumi Nusantara. Down payment royalty juga segera diterima dan langsung dibelikan Casual Vacancynya JK Rowling...

CERPEN-ELEGI MERAH HATI

Pelan-pelan kutelusuri jalan yang lengang ini. Dari balik kemudi kususuri kerindangan pohon akasia dikiri kanan jalan. Jalan ini masih seperti yang dulu. Asri dan bersih. Daun rindang akasia melindunginya dari terik matahari. Kupandangi lagi undangan exclusive reuni akbar SMA-ku dulu, yang akan digelar malam ini, yang tergeletak rapi di dashboard mobil. Undangan yang membawaku kembali ke kota ini.
Kembali ke kota ini, membuat aku menyusuri lagi kenangan 30 tahun yang lalu. Masa-masa sekolah dulu, zaman aku masih memakai celana abu-abu dan sedang semangatnya menuntut ilmu. Pikiran melayangku, membuat aku memarkir mobil dikerindangan salah satu akasia. Kuturunkan kaca jendela, harum bunga akasia berhembus menerpa. Sejenak aku terpana. Rasa ini telah lama hilang, namun kini kembali hadir, mengingatkanku pada sosok seseorang. Pada rambut hitamnya yang panjang tergerai, duduk dibawah pohon Akasia yang sedang berbunga, sesekali angin nakal meniup rambutnya yang harum ke muka. Hatiku pun kembali berdegup. Kenangan itu kembali menerpa.
Tanpa dapat kutahan, pikiranku kembali ke masa itu. Masih segar dalam ingatanku saat aku dipindahkan sekolah ke kota ini dan harus tinggal dengan kakak laki-laki ayah. Aku sedih, namun ayah berkata aku harus kuat, seorang laki-laki harus memperjuangkan cita-citanya, yang menurut Ayah tak mungkin tercapai didesa kecil kami. Anak-anak Oom dan Tanteku sudah besar semua. Yang masih tinggal dirumah cuman 2 orang: Yang paling kecil bernama Vivi sebaya denganku, seorang gadis yang manis dan lincah, dan seorang lagi menjadi teman sekamarku, Si Uda, waktu itu sudah kuliah.
Mulanya aku canggung sekali dirumah itu, tapi karena keramahan mereka, aku mulai bisa beradaptasi dengan mudah. Dibekali otak yang cukup encer, aku segera punya teman akrab dirumah dan disekolah. Sesekali mereka datang kerumah untuk belajar bareng.
Begitulah hari-hariku berlalu. Pagi sekolah, Sore membantu Oom dan Tante setelah membuat pekerjaan sekolah, Malam mengaji bareng teman-teman di musholla tak jauh dari rumah. Masa itulah aku mengenal dia.
Pertama kali melihatnya adalah saat dia datang ke warung Oom. Waktu itu aku sedang duduk didepan warung sambil membaca buku Sejarah Indonesia. Aku yang sedang asyik membaca, tidak memperhatikan ada yang datang.
“Uda, mau beli shampo,” begitu tegurnya. Aku mendongak dan melihat seorang gadis kecil dengan rambut panjang tergerai menyodorkan uang seratus perak. Aku terpana dan diam memperhatikannya, hatiku berdesir.
Sadar diperhatikan, gadis itu terlihat risih dan cemberut. “ Ada nggak nih?” katanya jutek. Aku kaget dan segera mengambilkan shampo yang dimintanya. Diletakkan uang seratus peraknya dimeja dan segera berlalu. Kuperhatikan dia berjalan menuju rumah sebelah. ‘O, ternyata tetangga’ pikirku.
Di Mushola, aku mengenal namanya. ‘Shara’ begitu teman-teman memanggilnya. Dia masih SMP kelas III sedangkan aku waktu itu kelas II SMA. ‘Otaknya encer, pinter,’ begitu komen salah seorang teman. Aku terpaksa mengakui waktu mendengar dia mengaji. Dari 2 halaman AlQur’an yang dibacanya, cuman 2 kesalahan yang dibuatnya. Kali ini rambut panjangnya di kepang dua dan ditutupi selendang panjang. Wajahnya seriusnya menunduk membaca Alquran. Aku tak kuasa mengalihkan pandangan. Kami yang duduk melingkar mengelilingi Pak Ustadz, memudahkan aku untuk memandangnya. Sesekali dia mengangkat mukanya dan langsung cemberut saat kami bersitatap. Didi, teman baikku, menyikut mengagetkan, sambil berbisik dia berkata,”Jangan lama-lama, ntar naksir.” Sedang aku cuman tersenyum, dan menunduk memandang bacaan Alquranku, menenangkan debur jantungku sendiri.
  Malam itu aku tak bisa tidur, masih terngiang perkenalan tadi. Pulang ngaji Didi mengajakku pulang bareng. Saat Shara dan adik-adiknya lewat di dekat kami, dia menggamitku dan segera merendengi Shara. Shara tersenyum ke si Didi.
“Eh, Sha, dah kenal sama si Nov ini belum?” Didi menepuk bahuku. Aku cengengesan, sedangkan si Shara tampak berpandang-pandangan dengan kedua adiknya.
“Tadi udah ketemu waktu ke warung Pak Bahar,” jawabnya sambil malu-malu.
“Kami satu sekolahan,” terang Didi. Si Shara terlihat mengangguk sambil memandangku sekilas.  Tiba di depan rumahnya, dia tersenyum padaku, sedang adik-adiknya terlihat melambai. Senyumnya membuat aku melambung, sampai Didi menghentikannya saat mencolekku, dan kamipun berpisah.
Aku membalikkan badan, namun mata tak kunjung terpejam. Sejujurnya aku tak pernah mengalami rasa ini. ‘Apakah aku kini sedang mengalami pubertas? Apakah ini yang dinamakan suka,’ Aku membatin. ‘Kalo iya, mengapa aku suka kepada dia, orang yang baru saja aku lihat dan kenal? ‘ Aku sangat penasaran, rasa itu terbawa sampai aku terbangun keesokan harinya.
Paginya saat sedang memakai sepatu di depan warung, aku melihat Shara melintas bersama adik-adiknya. Berseragam putih-biru tua, rambut dikepang dua dan dipita putih. Adiknya yang terkecil melambai sebelum berlalu, sedangkan gadis itu cuman menunduk seakan tidak melihatku. Aku tersenyum,’pemalu ternyata,’ batinku.
Tapi kemudian kami menjadi akrab. Aku sering main ke rumahnya. Sesungguhnya, aku tak bisa menahan hati untuk tidak berjumpa dengannya. Padahal sesungguhnya gadis itu tidak secantik Shinta teman sekelas Didi yang sering minjam PR matematika, sangat jauh malahan. Kulit Shinta putih, sedang Shara cenderung coklat. “Habisnya aktif di Pramuka sich,” cerita Didi. Ketika itu Didi sedang menceritakan pengalaman sepulang dari PERSAMI dan ternyata ketemu Shara yang ikut diregu SMPnya. Atau selembut Dini, yang duduk dibangku barisan depan, yang selalu tersenyum setiap pagi, saat aku masuk kelas. Shara cenderung galak dan jutek, apalagi kalau dia tak suka. Bahkan Shara kalah manis sama Riri, tetangga sebelah rumahku didesa, yang suka main kerumah kalau aku lagi liburan.
  Aku suka rambut panjangnya yang sepinggang. Aku suka matanya yang berbinar, saat dia berargumentasi atau berdebat. Dia terlihat sangat cantik saat sedang jengkel atau marah. Aku suka otaknya yang encer, cara dia menjelaskan pelajaran ke adik-adiknya. Bahkan aku suka melihat hasil kreatifitas pernak pernik yang sering dibuatnya bersama adik-adiknya. Sering di sore hari, aku melihat dia membaca sendiri di bangku kayu dibawah pohon Akasia di halaman rumahnya. Bias matahari sore menerpa rambut dan wajahnya yang polos, harum Akasia yang sedang berbunga melambungkanku akan perasaan termanis.
Dia dan keluarganya tak pernah menampik kedatanganku. Bahkan ketika aku datang sehabis magrib di malam minggu. Terkadang ibunya menyuguhkan gorengan atau buah-buahan. Sebetulnya bukan khusus kepadaku sih, tapi untuk kami semua yang lagi bermain sambil belajar di teras rumahnya. Biasanya setiap malam minggu Shara dan dua adiknya bebas bermain sampai jam 10 malam. Teras rumahnya selalu ramai.
Di teras itu kami terpecah menjadi beberapa group tergantung kelompok umur. Dan karena kami sebaya, biasanya aku, Didi dan Shara sering membuat group sendiri. Kadang kami asyik membicarakan film yang akan tayang di TVRI, atau mencoba mengisi TTS yang sedang dibuka Shara, atau membicarakan artis yang sedang naik daun. Bahkan kadang kami bermain, menebak nama negara, nama kota atau nama artis dari huruf-huruf yang kami ajukan.
Terkadang perasaanku bergolak marah, aku tak suka kalo Shara terlalu dekat dengan Didi. Padahal apa hakku, coba? Mereka telah berteman lama dari zaman balita. Kalaupun mereka jadi dekat pasti ada kecocokan. Kalau tidak bagaimana mungkin mereka bisa menjadi sahabat? Aku tidak suka kalau Didi memandangnya lama. Aku tidak suka kalau Didi colak-colek Shara, walaupun sebenarnya Shara juga tak suka dicolak-colek-i. ‘ih, haram,’ begitu katanya sambil cemberut. Terlebih lagi saat pembicaraan mereka nyambung banget membahas pramuka, tentang sandi pramuka-lah, belajar semaphore-lah, tali-temalilah. Bahkan mereka juga ikutan dalam lomba Paduan suara antar sekolah di kota kami itu. Namun rasa tak suka itu kutahan dalam hati, karena pertemanan kami.
Suatu Minggu sore aku main kerumah Shara. Tapi saat aku baru sampai diteras, aku kok mendengar suara orang mengaduh. Aku mengintip di pintu ruang tamu yang terbuka. Ku liat Shara sedang duduk membelakangiku, begitu juga si Didi. Aku dengar Didi berkata, “ Main gigit aja, sakit tau,” sambil memegang  tangannya.
“Rasain,” kata Shara. “ Makanya tangan itu jangan suka gratilan.”
“Awas ya, ntar kubalas,” kata si Didi, sambil bersiap memeluknya.
“Coba kalo berani, aku mau teriak, biar rame,” Shara mengancam sambil berlari masuk kamar dan tidak keluar lagi. Diam-diam aku berbalik pulang kerumah. Hatiku sakit. ‘Kurang ajar si Didi,’ pikirku. Aku segera masuk kamar dengan membisu. Si Uda yang lagi belajar, mendongak dan senyum memandang wajahku yang ditekuk.
“Kenapa?” tanyanya.
“Nggak kenapa-napa,” jawabku sambil tidur di dipanku dan membelakangi si Uda, menghadap kedinding. Ku coba memejamkan mata, tapi yang terbayang hanyalah adegan tadi. ‘Berani-beraninya si Didi memeluk gadisku,’ darahku serasa mendidih. ‘Kurang ajar banget..., untung si Shara segera lari masuk kamar, kalo enggak pasti dah kejadian dia dipeluk segala. Kurang ajar, aku aja belum berani ngomong isi hatiku, apalagi berani pegang. Eh...sobatku sendiri malahan main selonong aja’, aku menggeram, hingga mengundang sungutan dari si uda yang duduk di meja belajar. ‘Pantesan si Didi juga suka main ke rumah Shara, ternyata ada hati juga dia, karena kalo enggak, kenapa juga dia main peluk anak orang’, batinku bertambah jengkel. Dari pada aku bertambah jengkel dengan si Uda, aku segera bangkit dan pindah duduk didepan warung yang lagi sepi. Tapi pikiran aku tak mau beralih. Masih terbayang adegan tadi. Akhirnya kuputuskan untuk menemui gadis itu.
Ku ketok pintu rumahnya. Dia sendiri yang membukakan pintu.
“Boleh masuk?” sapaku. Dia membuka pintu makin lebar kemudian terus duduk diruang keluarga. Televisi sedang menayangkan film Scobydoo.
“Kok sepi?” tanyaku sambil ikutan duduk di karpet yang memang tersedia diruangan itu.
“Semua pergi ke Sawahlunto,” jawabnya pendek.
“Kok kamu tak ikut?” tanyaku
“Tadi pagi latihan pramuka, jadi tak bisa ikut,” jawabnya sambil tetap memandang TV. Matanya masih terlihat merah. Mungkin tadi dia menangis.
“Kenapa?” tanyaku. Dia diam saja, sekilas memandangku kemudian kembali memandang TV.“Karena kejadian tadi?” tebakku.
“Kejadian apa?” tanyanya.
“Aku liat lho sekilas, kamu ma si Didi.” Dia langsung cemberut dan menunduk.
“Aku sebel ma dia,” mukanya memerah.
“Emang dia kenapa?” pancingku.
“Aku benci dia, tiba-tiba aja dia peluk aku dari belakang, aku gigitlah jarinya kuat-kuat.” Katanya sambil menahan isak.
Matanya sudah berkaca-kaca. Hatiku terenyuh memandangnya. Sakitnya sakitku juga. Dengan telunjuk, kuusap air matanya yang sempat jatuh ke pipi. “Jangan menangis,” ujarku. Dia kaget dengan perlakuanku, dipalingkannya wajah, sambil mengusap air mata dipipi.
“Aku nggak mau nangis,” katanya sambil menghapus air mata.
Hatiku tersentuh lagi. Tak sadar kuraih kepalanya yang menunduk, kusandarkan kepalanya kedadaku. Ingin rasanya kutepiskan duka dihatinya. Aku tak mau ada sedih dihatinya. Mauku dia tersenyum karena itu akan mencerahkan hariku. Sejenak dia terdiam, menyandarkan kepalanya, pasrah. Pelan-pelan ku angkat dagunya dan tiba2 saja aku telah mencium pipinya. Dia kaget, begitupun aku. Segera dia duduk menjauh.
“Kenapa ?” tanyanya, sambil mengusap pipi.
“Aku tak mau kamu sedih,” aku gelagapan menjawabnya. Aku bingung. Apa yang telah aku lakukan? Apa bedanya perlakuanku dengan perlakuan si Didi? Ini kali pertamaku dengan seorang gadis, dan tampaknya juga pengalaman pertamanya. Aku mengutuk kelancanganku. Aku takut dia marah dan menjauhiku. Aku tak mau dia membenciku.
Kami bersitatap, rasanya lama sekali, sampai akhirnya dia tertunduk. Pipinya bersemu merah. Aku tersenyum. Dia tidak meradang, dan rasanya aku tahu, aku telah memenangi hatinya. Aku menghembuskan napas lega.
Kami kembali terdiam, sama-sama memandang ke televisi yang masih menayangkan berita sore. Dia masih diam membisu, namun terlihat tidak menolakku. Sesekali tangannya yang masih gemetar mempermainkan rambutnya yang dikepang satu.
Memperhatikan gerak-geriknya adalah satu kesenangan yang tak terhingga. Aku tak mampu menepiskan itu. Dia terlihat salah tingkah. Sesekali kami bertemu pandang. Aku tersenyum, sedangkan dia hanya menunduk. Tak sabar, ku ulurkan tangan, menarik rambut panjangnya. ‘Coba dibiarkan tergerai,’ pikirku sok romantis.
“Kepangan rambutnya dilepas yah?” pintaku sambil tersenyum mengajuk hatinya. Dia diam saja, karenanya aku menarik lepas jepitan rambutnya. Aku menahan napas lama saat rambut hitam panjang itupun tergerai dipunggung. Sosok galak ini terlihat melankolis dan rapuh. Kembali aku tersentuh.
“Sini,” bisikku. Dia memandangku sekilas, tubuhnya langsung kaku. Lagi-lagi kuraih dirinya dan kusandarkan di sisiku. Rasanya lega sekali saat dia bersandar padaku. Dunia terasa indah, segalanya terlihat menyenangkan bahkan berita sore yang biasanya membosankanpun terlihat indah. Rasanya aku mau begini selamanya.
            Bunyi klakson bus yang lewat merenggutku kembali dari kenangan lama itu. Aku menghembuskan napas panjang. Kugosok mataku yang terasa perih. ‘Sesungguhnya perih itu bukan dimata, tapi dihati,’ aku menyadari itu. Apalagi yang lebih perih dari pada cinta tak sampai? Setelah sekian tahun berlalu, ternyata bayangannya tak pernah pudar dalam ingatanku.

****
Reuninya berlangsung ramai dan seru. Banyak sekali teman-teman satu angkatanku yang datang. Acara reuni yang bertepatan dengan masa libur Hari Raya, membuat teman-teman dari perantauan bisa menghadirinya. Semua acara penuh dengan nostalgia.
Aula telah dihias ramai, ada spanduk di dinding panggung. Ada ucapan ”Selamat datang” dan kata-kata “Bapisah bukannyo bacarai.” Sepanjang ruangan dihiasi meja bundar dengan 6 kursi disekitarnya. Dipinggir aula, ada beberapa stand makanan dan minuman. Segala makanan dan minuman khas Sumatera Barat bisa ditemui disini. Ada sate, soto, nasi kapau bahkan panekuk khas kota kecil inipun tersedia.
Ada lagu Kidungnya Chrisye, saat aku memasuki aula yang mulai ramai. Lagu itu memang sedang Top banget dimasa itu. Seseorang menepuk pundakku. Lama kupandangi sosok berbaju batik itu. Sebagian rambutnya telah mulai memutih. Senyum jenakanya mengingatkan ku…
         “Hai Didi…,” aku merangkulnya. Bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Dia membawaku ke kelompok besar teman-teman yang lain, mengingatkanku dari teman yang satu ke teman yang lain. Ada si Shinta yang dulu putih mulus, sekarang masih berkulit putih sich, tapi udah gemuk gaya ibu-ibu pejabat. “Suaminya sekarang walikota Payakumbuh,” bisik si Didi. Aku tersenyum menggangguk atas informasinya. Pada akhirnya info dari si Didilah yang mengisi malam reuniku ini. Tentu saja, sebagai salah seorang panitia dan penggagas acara reuni, Didi mempunyai banyak akses ke teman-teman SMA kami.
         Seorang wanita menghampiri kami yang sedang  berdiri mengambil minuman.  Beliau tersenyum, senyumnya mengingatkanku akan si Dini. Kami sempat dekat waktu kelas III SMA. Tapi hanya sebatas teman.
        “Apa khabar Novembry?” begitu sapanya.
        “Aku tersenyum lebar. “Baik, Alhamdulillah, dimana aja selama ini Din?”
        “Tamat SMA aku kuliah di Padang, sekarang dengan keluarga tinggal di Pekanbaru. Berapa anakmu Nov? Istrimu orang mana? Ayo duduk disana, aku pengen denger kisah kamu selama 30 tahun ini.” Dia menggamitku untuk duduk disebuah meja yang masih kosong. Aku tersenyum mengikuti langkahnya.
        “Kamu akhirnya kuliah dimana?” Dini bertanya. Aku tersenyum, mengingat sosoknya yang lembut, yang dulu selalu tersenyum menyambutku dipagi hari.
        “Aku tamat Teknik, sekarang jadi Kepala Dinas di PU Jambi.” Anakku 1 cewek, kelas VII, Istriku ibu rumah tangga yang baik..hehehe…” begitulah pembicaraan mengalir antara kami. Terkadang ada teman-teman lain yang menghampiri,  melanjutkan nostalgia kami. Ada saja cerita lucu yang teringat oleh seseorang diantara kami.
        “Hai.. Dini and Novembry.. masih aja kalian mojok berdua,” seorang ibu-ibu tomboy menghampiri kami. Sosoknya yang berjeans belel, berbeda banget dengan teman-teman wanita lain yang datang dengan gaun atau berbaju kurung. Sorakannya disabut geer teman-teman yang lain yang masih ingat betapa dekatnya kami dahulu. Dari dulu yang namanya Salwa tetap  tak berubaha, tomboi namun baik hati, makanya dia jadi teman terbaik Dini yang lembut. Dipeluknya Dini, sambil berkata,”Aku pinjam yah Nov, aku ada bisnis sama ibu satu ini.”
        Aku kembali duduk sendiri. Dari pada bengong, aku mengambil seporsi sate, yang rasanya masih saja selezat dulu waktu aku masih bersekolah di kota kecil ini. Dulu bisa makan sate sekali sebulan saja merupakan kemewahan bagiku. Sehingga kalau ada teman sekolah yang berulang tahun dan mentraktir makan sate, maka tak satupun aku tampik. Aku senyum-senyum sendiri hingga Didi datang menghampiri.
        “Bengong aja,” katanya sambil membawa semangkok soto. “Nginap dimana nanti malam?”
        “Dihotel Sinar Surya, dimana lagi coba, emangnya dikota ini punya banyak hotel?”
Didi tersenyum mengiyakan.  “Lambat sekali yah perkembangan kota ini. Istri dan anakmu tak dibawa nih?” Aku menggeleng. “Kapan balik ke Jambi?”
“Besok sore, biar nyaman diperjalanan  dan enggak kepanasan.”
“Kalo gitu besok pagi main kerumahku yah? Aku masih tinggal dirumah ortu. Kamu masih ingat arahnya khan? Sekalian sarapan dan berkenalan dengan keluargaku,” ajak Didi. Aku berpikir sejenak. “Halah…ayolah Nov, udah lama banget kita tidak cerita-cerita, lagian kamu khan tidak ada acara besok,” Didi menegaskan. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Suruh istrimu masak yang enak dan banyak yah.”
“Hahaha..aku taulah itu…kamu khan memang suka makan besar.” Kami tertawa bersama.
*****
Sehabis mandi pagi aku langsung check out dari hotel. Rencananya dari rumah Didi, aku mau jalan-jalan di pasar mencari buah tangan untuk buah hatiku.  Kembali menyusuri kompleks perumahan yang dulu pernah menjadi bagian hari-hariku, membuat dadaku berdebar kencang. Saat menikung di depan rumah Shara, hatiku mencelos. Rumah lama pamanku telah berbeda jauh. Agaknya sipemilik yang sekarang memutuskan untuk merenovasi habis rumah itu. Memang, setelah pensiun pamanku memutuskan menjual rumah itu dan kembali ke desa kecil kami.Ku hentikan mobil dan memandang lama. Rumah Shara hanya sedikit berbeda, pohon akasia telah tiada, berganti dengan pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Seseorang  tampak duduk diteras yang sebagian tubuhnya tertutup Pajero, yang terjulur dari garase. Suasana sekitarnya sepi saja. Penuh tanda tanya, kulanjutkan perjalanan memasuki halaman rumah orang tua Didi.
Aku disambut Didi dan orang tuanya dengan gembira. Didi mengenalkan istrinya yang cantik dan dua anak cowoknya yang telah remaja. Sarapan telah terhidang untuk kami semua. Sambil makan kami bernostalgia , kedua orang tua Didi menemani sambil ikutan nimbrung dalam pembicaraan kami yang mengalir lancar. Sesudah sarapan kami berpindah duduk ke depan pavilun. Meninggalkan orang tua Didi yang menonton TV di ruang keluarga.
“Siapa sekarang yang tinggal di rumah Shara,” aku menjawil Didi.
“Ibu dan 2 anak Shara. Eh, dah tahu khan…? Shara meninggal 2 tahun yang lampau.”
Aku terpaku dan menggelengkan kepala. “Kenapa?”
“Kanker darah….sedih kalo masih inget…” Didi mendesah sambil menyandarkan kepalanya di kursi.
“Terus anak-anaknya sekarang tinggal sama orang tuanya? Suaminya kemana?”
“Dah kawin lagi, laki-laki mana pernah tahan menunggu lama.” Aku terdiam, seandainya tidak dalam posisi shock, mungkin aku sudah terbahak dengan penjelasan si Didi, sepertinya kami ini bukan lelaki saja.
“Tapi tadi aku liat ada Pajero nangkring digarasenya.” Aku mengingat selintas penglihatan tadi.
“O, itu mobil Shinta, adik Shara.”
“Orang mana suaminya Shara?”
“Kalimantan.”
“Wah jauh amat…ketemu dimana tuh?”
“Katanya satu kampus dulu di Bandung, khan Shara tamat SMP langsung sekolah di Bandung, kuliahnya juga disana.”
“Oo..pantesan…,” Aku melamun. Dulu aku pernah berharap bisa satu sekolahan dengan Shara, sehingga bisa pergi dan pulang sekolah bareng. Tapi setelah ujian akhir SMP dia tak pernah lagi terlihat. Pernah aku dengar adiknya bilang ke Bandung. Tapi aku tak tahu ternyata dia akan melanjutkan sekolah disana. Semenjak itu aku tak pernah lagi berjumpa dengan Shara.
“Dulu kalian sempat dekat khan?” Didi menjawilku.
Aku geragapan.” Aku dulu pernah naksir dia.” ‘Naksir? Kalo naksir kenapa masih segar dalam ingatanku segalanya tentang dia dulu. Kenapa aku masih mengingatnya.’ Rasanya lukaku kembali berdarah. Aku selalu berharap suatu saat bisa bertemu dengannya, mengungkapkan perasaanku terdalam. Harapan yang pupus dengan tiba-tiba.
“ Aku dulu juga naksir dia, tapi dia memilih kamu, akhirnya aku putuskan untuk menjadi sahabatnya saja. Kami berteman sampai akhir hayatnya. Istriku juga jadi sahabat terdekatnya.”
“Aku menyesal tidak pernah mendengar khabar tentangnya.” Aku menunduk. “Sampai sekarang pun namanya tetap tersimpan dalam hati.”
Lama kami terdiam, speechless….” Itulah hidup Nov, setiap yang bernyawa akan mengalami mati. Kitapun tak tahu kapan nyawa kita akan diambil Pemiliknya.” Didi mendesah, akupun juga.
“Dimana dia di kuburkan?”
“Kamu mau kesana? Mau aku temani?”
“Tak usah, asal aku tahu tempatnya.”
Didi menyebutkan nama sebuah tempat, aku mengangguk mengenali daerah itu, kemudian dia menyebutkan ancang-ancang perjalanannya dari sini.  Tidak lama kemudian aku pamit.
Akhirnya aku tertunduk dihadapan gundukan tanah itu. Sepi  sekali disini. Sekejap aku teringat sebuah puisi ‘Bulan diatas kuburan’. Sekarang kupahami maknanya, meski tanpa malam dan bulan. Dadaku rasanya sakit. Teriakan perihnya menggema didada. ‘Apakah yang lebih perih dari cinta tak sampai?’

The end
Batam, 09 October 2012